Total Tayangan Halaman

Selasa, 15 November 2011

inilah kisah,berjilbab itu nikmat, MARI BERJILBAB !

berhijab itu nikmat

Assalamu‘alaykum. Namaku Dea, usiaku 23 tahun, mahasiswi tingkat akhir. Aku ingin berbagi cerita tentang hijab yang kini telah kupakai selama sekitar 3 tahun, inshAllah sampai habis nanti sisa umurku.
Aku memutuskan memakai hijab sejak tahun 2008. Sebelumnya, aku sama sekali tidak terpikir untuk berhijab. Sejak kecil, aku memang tidak terlalu feminin. Apalagi, hampir tidak ada anggota keluargaku yang berhijab. Pikirku, berhijab itu repot. Harus pakai pakaian yang menutup tubuh, bukan hanya sekedar sopan. Belum lagi memilih jilbab yang pas. Pokoknya, saat itu aku sama sekali tak ada keinginan berhijab, meskipun untuk acara-acara tertentu (misalnya pengajian) aku sudah bisa memasang jilbab sendiri.
Tahun-tahun di hidupku terus berlalu. Sampai akhirnya tahun 2008, saat aku kuliah, alhamdulillah, Allah memberikan kesempatan bagiku untuk pergi umroh bersama dengan ayah ibu dan adikku. Aku pun berangkat umroh untuk pertama kalinya. Senang, deg-degan, cemas, semua bercampur di hatiku. Siapa yang tak senang mendapakan kesempatan bertamu di Baitullah? Tapi, aku juga cemas, karena pernah mendengar bahwa di Tanah Suci sering terjadi hal-hal di luar logika, semacam pesan atau teguran dari Allah. Akhirnya aku hanya bisa berdoa dan pasrah. Allah, apapun kehendak-Mu atasku nanti di Tanah Suci, kejadian apapun yang akan Kau timpakan padaku, pastilah itu untuk kebaikan diriku.
Sampai di Madinah, memasuki Masjid Nabawi, aku terpana dengan perempuan-perempuan berhijab disana. Subhanallah, aura mereka justru makin terpancar dari balik hijab yang mereka kenakan. Mulai dari yang berkulit hitam, asia, hingga yang berkulit putih, semua nampak anggun dan memiliki sorot tersendiri. Sungguh berbeda dengan yang biasa kusaksikan sehari-hari.
Hari demi hari kurasakan semakin nyaman dengan hijab yang kupakai. Belum lagi, selama disana, alhamdulillah aku bertemu dengan perempuan-perempuan yang sangat baik padaku. Bahkan ada yang memberikanku wewangian dan tasbihnya. Sampai pada satu hari, aku melakukan umroh. Saat itu, aku sholat di maqam Ibrahim. Seusai sholat, aku berdoa. Tiba-tiba, ada seorang perempuan, entah darimana, menepuk pundakku. Perempuan itu kira-kira berusia awal 30-an. Cantik sekali, berhijab hitam, kulitnya putih dan segar. Dia bertanya dengan bahasa inggris, apakah aku seorang muslim. Aku pun menjawab, ya, aku muslim. Lalu dia tersenyum, dan bertanya dengan lembut, apakah aku sadar bahwa saat sholat tadi lekuk tubuhku masih terlihat, dan apakah aku sadar bahwa di tempat ini ada laki-laki yang bukan muhrimku, yang mungkin saja menikmati lekuk tubuhku. Astaghfirullah, rasanya aku malu sekali. Aku sempat terdiam, karena tak tahu harus bicara apa. Saat itu, aku memang mengenakan pakaian putih, dengan celana putih pula. Mungkin, potongan celanaku kurang longgar sehingga bentuk tubuhku terlihat saat bersujud tadi. Untunglah, waktu itu aku membawa sajadah yang tipis seperti kain. Langsung aku ikatkan sajadah itu di pinggangku. Orang tadi pun tersenyum dan meminta maaf jika ucapannya mungkin menyinggungku. Lalu ia memelukku dan pergi.
Setelah beberapa hari, rombongan umroh pun meninggalkan kota Makkah, untuk menuju Jeddah. Di Jeddah, suasananya sungguh berbeda dengan Madinah maupun Makkah. Beberapa orang dalam rombongan, berkata bahwa disini kita bisa lebih bebas. Tidak harus berhijab seketat saat masih di Madinah dan Makkah. Malam pertama di Jeddah, diisi dengan jalan-jalan di pertokoan. Aku pergi dengan memakai baju yang panjang lengannya 3/4. Sampai di lobby hotel, aku sudah disergap rasa malu. Sedikit bagian tubuhku yang seharusnya kututupi, terlihat jelas. padahal cuma sedikit lengan bagian bawah, tapi tak biasanya aku merasa sangat malu. Perasaan ini tidak pernah kualami sebelumnya.
Pulang dari umroh, aku pun semakin bimbang. Jujur, aku merasa sangat nyaman dan terlindungi dengan hijab yang kukenakan. Ada perasaan dilindungi dan sejuk saat aku mengenakan hijab. Saat aku curhat pada ibuku, beliau berkata, “ya kamu pakai aja dulu 40 hari. Habis itu dilepas juga boleh. Nggak kuat 40 hari juga gak apa-apa.” Mungkin maksud beliau adalah memberikan kebebasan padaku untuk mengambil keputusan, tapi jawabannya itu tidak mampu menenangkan hatiku. Aku bingung, aku takut tak akan sanggup berhijab untuk seterusnya, juga karena di keluarga besarku tidak ada yang berhijab secara total sehingga aku tak punya tokoh panutan dalam berhijab. Belum lagi perasaan-perasaan seperti, ‘ah, aku kan belum pantas berhijab.’, atau ‘boro-boro berhijab, kelakuan aja masih malu-maluin.’ Tapi aku juga tak bisa membohongi hati bahwa aku betul-betul merasakan ada dorongan yang kuat untuk terus berhijab. Apalagi jika mengingat kejadian di Tanah Suci, saat aku ditegur di maqam Ibrahim. Aku merasa, itu adalah sinyal yang dikirimkan Allah melalui perantara orang yang menegurku dengan halus. Masa sudah diberi sinyal, aku masih saja menyangkal? Belum lagi rasa malu yang kurasakan saat auratku terbuka.
Semakin tersiksa, akhirnya aku menghubungi salah seorang temanku yang berhijab. Saat kuceritakan dan kumintai pendapatnya, ia hanya berkata, “Allah adalah pencipta manusia. Dan yang paling tahu apa yang terbaik bagi sebuah ciptaan, adalah penciptanya. Hijab itu perintah Allah. Maka pasti itu yang terbaik bagi kita.” Setelah itu, aku mantap memutuskan untuk berhijab.
Ternyata ujian yang menggoyahkan keputusanku masih ada. Semua keluarga besarku kaget melihat perubahan penampilanku. Bahkan ada yang berkata, “Ooo itu nanti juga bosen, terus lepas. Kalo mau lepas, gak apa-apa. Kan yang penting hatinya dijilbabi.” atau “Sampai kapan pakai jilbab? 40 hari ya?”, dan pernyataan-pernyataan serupa. Rasanya sedih sekali saat merasa dukungan dari keluarga untuk melaksanakan salah satu perintah Allah ini kurang. Semua hanya bisa kujawab dengan senyum, dan “inshAllah seterusnya. Doakan ya.” Perkataan seperti itu, kuanggap saja sebagai salah satu cara Allah untuk menguji niatku dan salah satu kesempatanku untuk semakin meluruskan niat berhijab karena perintah Allah.
Ujian lain juga datang saat salah seorang keluargaku bertanya, “kalau kamu pakai jilbab, nanti nikahnya gimana? Nggak bisa pakai pakaian adat, dong?”. Pakaian pengantin adat jawa memang tidak menutupi aurat, dan jujur, salah satu impianku dulu mengenai pernikahan adalah aku akan melaksanakannya sesuai adat. Sempat hatiku sedikit goyah. Itu kan akan salah satu momen paling spesial dalam hidupku. Namun, aku memilih untuk berpikir bahwa ketika kita melakukan sesuatu dengan niat karena Allah, inshAllah semua akan diberikan jalan yang terbaik. Lagipula, tentang pernikahan impian, sebetulnya apa yang lebih diinginkan seorang perempuan ketimbang menikah dengan seorang lelaki mukmin dalam sebuah pernikahan yang diridhai Allah? Rasanya impian yang ini jauh lebih membahagiakan dunia-akhirat. Dan masalah pakaian adat, sudah tak penting lagi buatku.
Memang, pada awalnya, butuh proses. Dulu aku masih bandel, masih suka memakai hijab yang tidak sesuai aturan, atau kadang malah melepasnya. Tapi itulah proses. Makin lama, makin banyak ilmu yang didapat dan akhirnya diterapkan. Kini, aku sudah merasa sangat nyaman dengan hijab yang kukenakan. Bahkan, hijab ini membantuku untuk semakin banyak belajar mengenai agama. Dengan hijab, aku merasa malu sendiri jika tak semakin memperdalam pengetahuanku tentang islam, padahal hijab ini adalah salah satu penanda identitasku sebagai seorang muslimah. Tidak hanya soal ilmu agama, hijab juga membantuku untuk memperbaiki akhlak dan cara berpikir. Sungguh, hijab sama sekali bukan sebuah pengekangan. Dengan hijab, justru semakin besar dorongan dari dalam diri untuk terus belajar dan memperbaiki diri, juga untuk semakin kreatif dalam melakukan sesuatu agar tidak berbenturan dengan aturan-aturan agama. Hijab juga melindungi kita dari hal-hal yang tidak diinginkan dan hal-hal yang merendahkan kehormatan sebagai seorang wanita. Kita tak dilihat dari kecantikan tubuh, tapi justru akan dinilai dari hati dan perbuatan.
Intinya, berhijab itu nikmat.
written by: Dea Davita

4 komentar:

  1. alhamdulillah.saya sudah berjilbab..

    BalasHapus
  2. alhamdulillah mari kita lanjutkan ke generasi2 sesudah kita,kita ajak yang lainnya juga!!! cayyoooooooooo

    BalasHapus
  3. betul2 berjilbab itu nikmat,selain mnjaga aurat juga menjadi hiasan bagi kita kaum wanita.. :)

    BalasHapus